PERADILAN DALAM POLITIK ISLAM (AL QADHAIYYAH FIS SIYASAH ASSYAR’IYYAH)
Oleh: Dr. H. M. Zakaria, MH[1]
A. Latar Belakang
Negara sebagai entitas eksekutif (kiyan tanfidzi) yang menjalankan sekumpulan pemahaman (mafahim), standarisasi (maqayis) dan keyakinan (qana’at) yang diterima oleh umat, jelas membutuhkan lembaga peradilan. Selain lembaga ini merupakan satu-satunya lembaga yang bertugas menyampaikan keputusan hukum yang bersifat mengikat[2], keberadaan lembaga ini juga merupakan thariqah syar’iyyah (metode syariah) untuk menjaga keberlangsungan penerapan pemahaman (mafahim), standarisasi (maqayis) dan keyakinan (qana’at) di tengah-tengah umat. Karena itu, keberadaan lembaga ini hukumnya wajib. Para fuqaha’ menyatakan, bahwa adanya peradilan ini hukumnya fardhu kifayah[3].
Islam telah mensyariatkan adanya tiga kategori peradilan, sesuai dengan obyek masing-masing yang hendak diadili, yaitu qadha’ khushumat, hisbah dan madzalim[4]. Qadha’ khushumat (peradilan sengketa), yang mengadili sengketa di tengah masyarakat. Di sana ada pihak penuntut, yang menuntut haknya, dan terdakwa sebagai pihak yang dituntut. Peradilan ini membutuhkan mahkamah (ruang sidang). Sedangkan Qadha’ hisbah, yang mengadili pelanggaran hukum syara’ di luar mahkamah, bukan karena tuntutan pihak penuntut, tetapi semata-mata karena pelanggaran. Seperti pelanggaran lalu lintas, parkir di jalan raya, penimbunan barang, penipuan harga (ghabn) dan barang (tadlis), dan lain-lain. Adapun Qadha’ madzalim, yang mengadili sengketa rakyat dengan negara, dan atau penyimpangan negara terhadap konsitusi dan hukum.
[1]Hakim Pengadilan Agama Pekanbaru Klas I A.
[2]Ibn Farhun, Tabshirat al-Hukkam, Juz I/12
[3]Ibn Qudamah, al-Mughni, Juz IX/34
[4]al-Farra’, al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hal. 62-93 dan 285-308
Selengkapnya KLIK DISINI